Hampir tidak setiap organisasi profesi berhasil dalam
perjuangannya membela profesi yang bersangkutan. Untuk dapat mencapai
keberhasilan organisasi profesi harus berusaha agar pekerjaan pustakawan diisi
oleh tenaga yang berkualifikasi, yang penuh dengan ide profesionalisme serta
haarus diakui oleh lembaga tempat pustakawan bekerja.
Pengorganisasian merupakan penyatuan langkah dari
seluruh kegiatan yang akan dilaksanakan oleh elemen-elemen dalam suatu lembaga.
Prosese pengorganisasian suatu perpustakaan akan berjalan dengan baik apabila
memeliki sumber daya, sumber dana, prosedur, koordinasi dan pengarahan pada
langkah-langkah tertentu. Oleh karena itu, diperlukan penyesuaian terus-menerus
antar bagian dalam suatu organisasi. Suatu organisasi akan berjalan baik
apabila terdapat prinsip-prinsip yang menjadi landasan geraknya.
Prinsip-prinsip itu di antaranya adalah :
1. perumusan
tujuan, tujuan organisasi harus jelas dan diketahui oleh seluruh elemen yang
terkait dalam organisasi itu.
2. pembagian
kerja, untuk mencapai efektivitas dan efisiensi, perlu adanya pembagian tugas
yang jelas
3. pembagian
wewenang, dengan kekuasaan yang jelas pada masing-masing aggota / kelompok
dalam suatu organisasi, maka dapat dihindarkan terjadinya benturan kepentingan
dan tindakan
4. kesatuan
komando, tujuannya agar tidak terjadi kebingungan di tingkat pelaksana.
5. koordinasi,
merupakan proses pengintegrasian tujuan pada satuan-satuan yang terpisah dalam
suatu lembaga untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien
Organisasi perpustakaan timbul karena adanya kebutuhan
untuk mengumpulkan orang-orang dalam rangka pencapaian tujuan bersama melalui
pembagian kerja. Pembagian kerja ini akan efektif apabila di dalam organisasi
itu terdapat stuktur organisasi yang jelas, baik secara makro maupun mikro.
Penyusunan struktur organisasi perpustakaan belum mampu merefleksikan
spesialisasi bidang, standarisasi , tidak adanya koordinasi yang baik. Hal ini
disebabkan oleh sistem penyusunan struktur organisasi yang menganut sistem top
down, bersifat birokratis, dan kurang berorientasi pada visi dan misi
perpustakaan. Perpustakaan sebagai lembaga informasi yang selalu berkembang
dalam penyusunan struktur organisasinya perlu mengantisipasi faktor internal,
eksternal, diferensiasi, dan kompleksitas.
Dari segi kelancaran tugas perpustakaan dipengaruhi
oleh sejauh mana keberhasilan integrasi di antara unit-unit/bagian dalam
organisasi itu sendiri. Oleh, karena itu, perlu diperhatikan adanya
pengelompokan kegiatan-kegiatan dalam perpustakaan itu sendiri. Dalam sistem
pengelompokan unit ini terdapat banyak sistem yang dapat dipilih perpustakaan,
ada empat aspek yang perlu diperhatikan yaitu fungsi, produk (barang dan jasa),
wilayah, dan pelayanan perpustakaan.
Kepustakawanan sebagai sebuah
profesi memiliki arti kata pekerjaan atau sebutan sebuah pekerjaan, terutama
pekerjaan yang memerlukan pendidikan dan latihan. Sebuah
pekerjaan dapat dikatakan sebagai profesi apabila mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut : pertama, adanya sebuah organisasi keahlian. Tenaga profesional
berkumpul dalam sebuah organisasi yang teratur dan benar-benar mewakili
kepentingan organisasi. Dalam dunia pustakawan, dikenal banyak organisasi
pustakawan seperti American Library association (ALA) di Amerika, Library Association
di Inggris serta Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) di Indonesia. Kedua,
Terdapat pola pendidikan yang jelas Struktur pendidikan pustakawan harus jelas.
Di luar negeri seperti ALA berhak menentukan kualifikasi pendidikan formal
pustakawan dan berwenang menentukan akreditasi sekolah perpustakaan. Profesi
didasarkan atas batang tubuh atau teknik yang dapat diajarkan. Hal ini berarti
subjek tersebut dapat diperlukan sebagai sebuah disiplin akademis serta
pekerjaan professional harus memiliki sifat intelektual. Ketiga, Adanya
kode etik untuk mengatur hubungan antara tenaga profesional dengan nasabah atau
rekanan diperlukan sebuah kode etik. Kode etik pustakawan lebih bersifat social
dari pada bisnis. Empat, berorientasi pada jasa bidang tugas kepustakawanan
hampir semuanya berorientasi pada jasa. Jasa pustakawan yang diberikan pada
pemakai lebih ditekankan pada pemberian pelayanan dalam usaha pencarian dan
penyebarluasan informasi dan jasa ini diberikan secara terus menerus. Lima, adanya
tingkat kemandirian. Sebagai tenaga professional tenaga pustakawan harus
mandiri dalam arti bebas dari campur tangan pihak luar.
Pemberdayaan peran organisasi profesi untuk
meningkatkan peran organisasi profesi pustakawan terhadap anggotanya maupun
terhadap masyarakat. Maka hal yang harus IPI adalah selalu memberdayakan segala
kemampuan dan potensi yang dimiliki organisasinya, serta berperan aktif dalam
ruang lingkup bidang kepustakawanan dan dalam masyarakat. Selama ini relatif
masih belum kelihatan peran dan manfaat IPI baik bagi anggota terlebih-lebih
lagi bagi masyarakat.
1. Kiprah
IPI dan Kinerja Pustakawan
Dalam konteks organisasi profesi khususnya Profesi
Pustakawan Indonesia (IPI), organisasi profesi yang baik adalah suatu
organisasi profesi yang dapat menunjukkan dan mempunyai kapasitas untuk dapat
berbagi pengalaman bersama ditandai dengan menjunjung tinggi moral dan etika
profesi. Suatu profesi tidak akan berkembang, apabila kita tidak dapat
menempatkan jati diri kita di tengah –tengah masyarakat yang cukup dinamis
dalam era reformasi dewasa ini. Sungguh luar biasa tantangan yang
dihadapi oleh para pustakawan Indonesia saat ini.
Globalisasi ekonomi berkaitan dengan kemampuan
seseorang untuk berkompetisi dan bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan ekonominya,
dimana sumber daya alam menjadi faktor yang kurang penting dibandingkan dengan
sumber daya manusia. Lokasi sumber daya alam juga tidak lagi menjadi masalah,
tetapi kemampuan manusia untuk berinteraksi dengan lingkungannya menjadi faktor
yang amat kritis. Disamping itu perkembangan ilmu dan teknologi telah memaksa
bangsa-bangsa untuk mengandalkan penguasaan ilmu dan teknologi itu dapat
memenangkan kompetisi yang makin lama makin berat.
Lingkungan manusia berubah amat cepat pada abad ke-21.
Beberapa kecenderungan abad ke-21 yang mempengaruhi kehidupan masyarakat,
adalah kompetisi global, cepatnya produk-produk menjadi kuno (obsolescence),
kecenderungan meningkatkan efisiensi dengan perampingan organisasi,
perekayasaan kembali dunia usaha, pemberdayaan serta perbaikan kualitas semua
proses dan produk di segala bidang yang dilakukan secara terus menerus,
internasionalisasi perdagangan, berkembangnya masyarakat informasi (information
society), serta perkembangan ilmu dan teknologi yang amat hebat. Toffler (1972)
yang dikutip Sutjipto (2000) telah mengidentifikasi gejala itu sejak tahun
1970-an dan menyebut gejala itu dengan “ culture shock “.
Mencermati perubahan yang semakin dahsyat itu,
organisasi profesi pustakawan Indonesia, hendaknya berupaya melakukan berbagai
perbaikan dan pengembangan layanan terbaiknya bagi kepentingan masyarakat
secara terencana dan berkesinambungan. Dengan demikian organisasi profesi ini
tidak akan kehilangan arah baik dalam rangka pengambilan keputusan, maupun
dalam rangka meningkatkan mutu organisasi. Sudahkah pustakawan Indonesia
mengantisipasi perkembangan dan menjembatani kearah tersebut? Bukankah modal
untuk itu kita sama-sama memilikinya?.
Berangkat dari visi pustakawan diabad informasi, ada
beberapa masalah pokok yang merupakan isu strategis yang perlu dicermati dan
perlu mendapat perhatian kita semua , diantaranya :
a.
Bagaimana
organisasi pustakawan Indonesia dapat sejajar dengan profesi lain?
b. Sistem dan
tatanan organisasi IPI yang bagaimanakah yang dapat memberikan peluang yang
sama bagi seluruh anggota dalam segala dimensinya menuju pemberdayaan
anggota IPI secara utuh ? ( Setiarso, 1997).
c. Apakah
landasan filosofis variabel utama IPI = Organisasi Profesi Kepustakawan
Indonesia yang ditawarkan Sudarsono (1997) telah dapat dilaksanakan oleh
seluruh anggota IPI ?
Selanjutnya mari kita renungkan apa yang telah
dituangkan dalam Keputusan Lokakarya Pengembangan Kurikulum Pendidikan dan
Latihan Perpustakaan di Indonesia yang dilaksanakan tanggal 9 –11 Agustus
1994 di Aula the British Council, ada 2 Aspek Profil Pustakawan Indonesia (
Pustakawan Ideal) yang cukup menarik kita diskusikan dalam Rakerpus XI IPI pada
hari ini :
1. Aspek
Profesional : Pustakawan Indonesia berpendidikan formal
ilmu perpustakaan. Pustakawan juga dituntut gemar membaca, trampil,
kreatif, cerdas, tanggap, berwawasan luas, berorientasi ke depan, mampu
menyerap ilmu lain, objektif (berorientasi pada data dan fakta), generalis di
satu sisi, tetapi memerlukan disiplin ilmu tertentu di pihak lain, berwawasan
lingkungan , mentaati etika profesi pustakawan, mempunyai motivasi tinggi,
berkarya di bidang kepustakawan, dan mampu melaksanakan penelitian dan
penyuluhan.
2. Aspek kepribadian dan prilaku: Pustakawan
Indonesia harus bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha esa, bermoral Pancasila,
mempunyai tanggung jawab sosial dan kesetiakawanan, memiliki etos kerja yang
tinggi, mandiri, loyalitas tinggi terhadap profesi, luwes, komunikatif, dan
bersikap suka melayani, ramah tamah dan simpatik terbuka terhadap kritik dan
saran, selalu siaga dan tanggap terhadap kemajuan dan perkembangan ilmu dan
teknologi, berdisiplin tinggi, dan menjunjung tinggi etika pustakawan
Indonesia. Kedua aspek tersebut sungguh luar biasa, apabila persyaratan tersebut
dapat dimiliki oleh para Pustakawan Indonesia.
Perjalanan sejarah wadah profesi pustakawan Indonesia
hampir selama tiga dasa warsa, hendaknya menjadi bahan renungan kita bersama.
Dan kini masyarakat menanti kiprah lebih nyata dari para Pustakawan Indonesia
yang menyentuh ke segenap lapisan masyarakat Indonesia yang majemuk dan kritis.
Pustakawan Indonesia dituntut agar lebih mandiri dalam segala hal, gaung
pustakawan … non jauh disana perlu kita dengar sebagai tuntutan otonomi daerah.
Hasil rapat Koordinasi Tim Penilai Pejabat Fungsional pustakawan yang baru saja
dilaksanakan tanggal 30 Oktober 2001 sudah mengisyaratkan ke arah itu. Mau
tidak mau, suka tidak suka inilah kenyataan yang perlu dipertimbangkan dan
didiskusikan pada hari ini.
Berbicara peningkatan profesionalisme di bidang
profesi kepustakaawan adalah suatu “Conditio Sine Quanon” yang tidak
bisa ditawar-tawar lagi, apabila profesi pustakawan hendak sejajar dengan
profesi lain. Profesi pustakawan dituntut untuk mampu bersikap lebih terbuka,
suka kerja keras, suka melayani, mengutamakan pengabdian serta aspek-aspek
kepribadian dan perilaku. Tuntutan hal tersebut,menurut hemat penulis itulah
kata kunci yang sebenarnya yang perlu terus menerus diaplikasikan dalam
menjajal otokritik.
Banyaknya kritik yang dilontarkan terhadap organisasi
profesi pustakawan Indonesia (IPI), baik kritik dari internal, maupun eksternal
organisasi, hal ini disebabkan antara lain pustakawan Indonesia kurang memahami
jati dirinya. Menurut hemat penulis organisasi yang diharapkan adalah suatu
organisasi yang setiap saat mengalami perubahan dalam arti yang positif, tidak
selalu berada pada statusquo/ stagnansi. Perubahan sekecil apa pun harus dapat
diterima sebagai sumbangsih dan pengabdian diri kita sebagai profesi.
Perjalanan sejarah organisasi profesi Pustakawan Indonesia selama hampir tiga
dasawarsa tidak sepenuhnya merupakan suatu kegagalan Kegagalan masa lalu dan
sekarang mudah-mudahan dapat dijadikan sebagai modal utama menuju kesuksesan
yang menjadi harapan kita semua, dan bukan suatu rintangan.
Paul J. Meyer pernah mengatakan” 90% orang-orang
yang merasa gagal belum tentu gagal… hanya saja mereka cepat menyerah”.
Faktor terpenting yang menentukan keberhasilan suatu organisasi terletak
bagaimana organisasi mengatasi kegagalan. Dornan (1998) memberikan
ilustrasi kata “gagal” dan keberhasilan . Kata gagal selalu berkonotasi
negatif. Bukankah orang paling benci dengan kata ini? Coba saja, jika anda
mendengar seseorang membicarakan tentang hal-hal yang bernada kegagalan dan
keputusasaan, mau tidak mau kata tersebut akan berpengaruh buruk terhadap diri
anda, misalnya kata –kata kemiskinan, tidak punya teman, tidak punya uang.
Sebaliknya kata-kata yang berhubungan dengan “ keberhasilan” mempunyai
konotasi positif karena mengandung harapan.
Lebih jauh Dornan menekankan ada beberapa hal yang
menyebabkan orang takut akan kegagalan diantaranya:
·
takut
dikritik
·
takut
mengambil resiko
·
takut
kehilangan percaya diri
·
takut tidak
mendapat kesempatan lagi.
Atas dasar takut akan kegagalan Dornan memberikan
solusi dalam mengatasi kegagalan sebagai berikut :
·
mengenali
lebih dulu penyebab kegagalan
·
belajar dari
kegagalan dengan mempelajari penyebabnya
·
kenali dulu
kelemahan anda
·
ubah cara
kerja anda sesuai kebutuhan
Organisasi profesi pustakawan
Indonesia (IPI) baik dari tingkat pusat, daerah,dan cabang di mana pun berada,
harus berani dikritik, berani mengambil resiko, tidak boleh takut kehilangan
rasa percaya diri, tidak boleh takut tidak mendapat kesempatan lagi. Menurut
hemat penulis pola kepemimpinan yang perlu diterapkan oleh Pengurus organisasi
ini baik tingkat pusat, daerah dan cabang harus menunjukkan keberanian
(courage)dalam menentukan aturan keanggotaan. Ternyata aturan anggaran
rumahtangga PAPSI (Perhimpunan Ahli Perpustakaan Seluruh Indonesia) tahun 1954
lebih baik dari anggaran rumah tangga IPI tahun 1999 dalam hal menerapkan
sangsi bagi anggota yang tidak membayar iuran anggota. Dalam anggaran
rumahtangga tersebut dinyatakan sebagai berikut:
- Anggota yang diterima sebelum 30 Juni membayar iuran untuk setahun penuh, yang diterima sesudah 30 Juni membayar iuran (setengah tahun). Pembayaran dilakukan ketika diterima menjadi anggota.
- Apabila seorang anggota menunggak iuran satu tahun, maka kepadanya akan dikirim surat peringatan, dan sebulan sesudah surat itu keluar pembayaran belum juga dilakukan,maka pengurus berhak mengeluarkannya dengan keputusan suara terbanyak.
- Anggota yang menunggak iuran setahun, di dalam rapat tahunan tidak boleh memberi suara atau tidak boleh dipilih untuk suatu jabatan.
Sedangkan aturan semacam itu tidak ada dalam anggaran
rumah tangga IPI tahun 1999. Bukankah Russel Bowden sewaktu menjadi konsultan
IPI sering memberikan rekomendasi khususnya mengenai iuran anggota sebagai
modal dasar organisasi. Barangkali ini perlu dipertimbangkan dalam rapat
kerja kali ini sebagai bahan masukan kongres IPI tahun 2002. Beberapa
rekomendasi program kerja dari komisi organisasi yang pernah dilontarkan oleh
Blasius Sudarsono dan Bambang Setiarso sebenarnya cukup efektif untuk
dilaksanakan sebagaimana dilontarkan dalam isu strategis pada pemaparan
sebelumnya. Dalam konteks kemandirian organisasi (Hernandono,1997)
mengungkapkan seebagai suatu organisasi profesi, IPI dirasakan oleh sebagian
orang belum mandiri, keuangan IPI masih banyak tergantung pada subsidi dan
bantuan instansi di bidang perpustakaan di Indonesia (Perpustakaan Nasional RI)
dan Badan-badan lain, baik pemerintah maupun swasta. Disamping itu,
keterlibatan para anggota IPI belum dapat dilaksanakan secara optimal.
Celakanya pustakawan masih sibuk mempertanyakan apa
keuntungan menjadi anggota. Bukankah kepercayaan yang kita emban dari
anggota IPI juga amanah dari Tuhan? Penulis juga sependapat apa yang
diungkapkan Zulfikar Zen dalam Marsela terbitan terbarunya (juni
2001) dalam rangka kebersamaan , apakah kebersamaan yang kita buat akan
berubah? Bukankah kalau bersatu, kita akan teguh? Marilah berat sama-sama kita
pikul, meskipun kalau ringan masing-masing dapat membawanya sendiri-sendiri
Insya Allah…! Himbauan tersebut mari kita refleksikan dalam organisasi yang
kita cintai ini.
Ada beberapa keuntungan strategis bila IPI mengembangkan
dirinya menjadi organisasi serikat pekerja, yaitu :
Pertama, organisasi akan mempunyai
orientasi yang jelas, yakni meningkatkan kesejahteraan dan memperjuangkan
kepentingan putawakan. Langkah ini akan menjauhkan kemungkinan menjadi
organisasi papan nama, atau organisasi yang hanya dimiliki oleh pengurusnya,
sebab serikat pekerja bisa menyentuh kepentingan semua anggota. Untuk mengubah
diri sudah tidak banyak halangan, karena UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang
baru jelas-jelas melindungi hak pekerja untuk berorganisasi. Kedua,
karena kepentingan semua anggota tersentuh, maka organisasi IPI akan dengan
mudah menggalang solidaritas para pustakawan. Implikasinya, hal ini akan
memperkuat posisi tawar pustakawan di hadapan institusi/perusahaan, terutama
dalam hal memperjuangakan kenaikan upah, fasilitas kerja dan peningkatan
profesi. Ketiga, dengan mengembangkan diri menjadi serikat pekerja, IPI
punya kesempatan luas untuk berafiliasi dengan organisasi sejenis di tingkat
internasional. Afiliasi ini akan menguntungkan posisi organisasi dan pustakawan
Indonesia, karena solidaritas pustakwan internasional akan segera
mengalir apabila pustakwan Indonesia mengahadapi masalah.
2. Organisasi
Pustakawan Indonesia
Perpustakaan modern yang pertama kali ada di Indonesia
didirikan oleh orang belanda. Perpustakaan tersebut adalah perpustakaan Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en wetenschap didirikan pada tahun 1778. Seabad
kemudian di indonesia mulai berdiri berbagai perpustakaan khusus, menyusul
pendirian perpustakaan sekolah dan perpustakaan umum oleh pihak swasta pada
awal abad ke-20. awalnya perpustakaan sekolah tidak ada, yang ada hanyalah guru
yang menaruh minat pada perpustakaan . beberapa guru di batavia (jakarta)
menyadari perlunya organisasi pustakawan sebagai wadah komunikasi antara sesama
anggota. Usaha pembentukan organisasi pustakawan mulai dirintis pada tahun 1912
dengan dilangsungkannya diskusi pustakawan di batavia. Namun, usaha itu baru
membuahkam hasil pada tahun 1916 dengan terbentuknya Vereeniging Tot
Bevordering Van Het Bibliotheekwezen di batavia. Tujuan organisasi
itu dinyatakan pada pasal 3 berbunyi sebagai berikut:
1. memajukan
berdirinya perpustakaan baru dan membantu perpustakaan rakyat yang telah ada,
baik yang bersifat ilmiah maupun umum.
2. memajukan
usaha sentralisasi perpustakaan
3. mengusahakan
peminjaman antar perpustakaan di hindia-belanda (Indonesia)
4. memajukan
lalu lintas pertukaran dan peminjaman bahan secara internasional
5. mengumpulkan
dan memajukan sumber dan tugas referens
6. mendirikan
biro penerangan untuk kepentingan ilmiah dan dokumentasi
7. mendirikan
gedung untuk perpustakaan umum
8. segala usaha
sah lainnya yang dapat membantu tercapainya tujuan di atas
Masa pendudukan jepang, organisasi itu sudah tidak
lagi kegiatan pustakawannya. Pada tahun 1954 berdiri Perkumpulan Ahli
Perpustakaan Seluruh Indonesia (PAPSI) yang mempunyai tujuan sbb :
1. mempertinggi
pengetahuan ilmu perpustakaan, berarti mempertinggi derajat para anggotanya
2. mananam rasa
cinta terhadap perpustakaan dan buku umum
Dan akhirnya pada tahun 1956
PAPSI berubah namanya menjadi Perhimpunan Ahli Perpustakaan, Arsip, Dan Dokumentasi
(PAPADI), yang tujuannya adalah :
1. mempertinggi
pengetahuan tentang ilmu perpustakaan, arsip, dan dokumentasi, serta ilmu-ilmu
lain yang berkaitan
2. memperluas
dan menanamkan pengertian terhadap perpustakaan, arsip, dan dokumentasi
3. membela
kepentingan dab mempertinggi derajat para anggotanya
Tahun 1962 nama organisasi diubah menjadi Asosiasi
Perpustakaan, Arsip, Dan Dokumentasi (APADI) yang bertujuan untuk :
1. mengusahakan
agar tercapai kesempurnaan sistem dan isi perpustakaan, arsip, dan dokumentasi
2. mempertinggi
pengetahuan tentang ilmu perpustakaan, arsip, dan dokumentasi dan ilmu-ilmu
yang bersangkutan
3. memperluas
dan menanam pengertian perpustakaan, arsip, dan dokumentasi
4. mempertinggi
derajat para anggotanya
Sementara pada tahun 1969 berdirilah Himpunan
Pustakawan Chusus Indonesia (HPCI) dengan tujuan :
1.
membina
perkembangan perpustakaan khusus di Indonesia
2. memupuk
hubungan antar anggota
Untuk menyatukan perhimpunan
pustakawan, pada tahun 1973 dilangsungkan kongres pustakawan se-Indonesia di
Ciawi. Hasilnya adalah pembentukan Organisasi Pustakawan Indonesia yang bernama
Ikatan Pustakawan Indonesia yang disingkat IPI. Berdasarkan pasal 5
Anggaran Dasarnya, IPI bertujuan untuk :
1. menghimpun,
menampung, serta menyalurkan aspirasi dan kreasi dari mereka yang berpotensi
dalam ilmu pengetahuan dan yang lainnya dan atau bekerja dalam bermacam-macam jenis
perpustakaan atau badan-badan lainnya yang ruang lingkupnya berkaitan dengan
perpustakaan
2. mengusahakan
mereka yang termasuk di atas pada tempat semestinya di dalam masyarakat.
3. meningkatkan,
mengembangkan, dan mengamalkan ilmu perpustakaan demi kemajuan pendidikan, ilmu
pengetahuan, serta kesejahteraan masyarakat
4. menempatkan
ilmu perpustakaan dan ilmu pengetahuan lainnya pada taraf yang semestinya di
antara ilmu pengetahuan.
3. Organisasi IPI
IPI diketuai oleh seorang ketua umum dibantu oleh
sekretaris umum dan komisi. Untuk kegiatan yang menyanngkut profesi dibentuk
bagian yang disebut ”bidang”. Dalam IPI terdapat bidang sbb :
a. organisasi
b. perpustakaan
khusus
c. perpustakaan
umum
d. perpustakaan
sekolah
e. perpustakaan
perguruan tinggi
Untuk membantu ketua umum melaksanakan program IPI
dibentuklah sebuah komisi, komisi yang ada di IPI adalah :
a.
komisi usaha
dan kesejahteraan
b. komisi penerbitan
c. komisi penelitian dan pengembangan
Prinsip-prinsip pokok pemberdayaan organisasi IPI
meliputi :
-
Penyempurnaan AD/ART sesuai dengan visi dan misi IPI ke depan.
- Penguasaan
teknologi informasi ;
-
Peningkatan kualitas anggota ;
-
Pemberdayaan kemampuan anggota ;
-
Pengembangan organisasi IPI yang lebih mandiri dan professional ;
-
Pengembangan kader-kader organisasi secara berkesinambungan dan berjenjang ;
-
Pembentukan organisasi atau kelompok-kelompok bidang minat atau interest group.
-
Pengembangan media komunikasi anteraktif antara anggota dan pengurus.
Aspek lain yang harus diperhatikan adalah strategi
pendekatan perencanaan program kerja IPI harus mencerminkan keseimbangan antara
pendekatan pendidikan dan pemberdayaan anggota. Oleh karena itu program IPI
harus benar-benar realistis dan benar-benar nyata manfaatnya baik bagi
anggotanya maupun bagi masyarakat.
4. Organisasi
Pustakawan Luar Negeri
American Library Association (ALA) adalah
sebuah organisasi pustakawan profesional yang didirikan pada tahun 1953 di New
York. Pertemuannya dihadiri oleh para pustakawan, peneliti, ilmuan, dan
pendeta, yang semuanya menyadari pentingnya pengetahuan tentang buku serta
kesadaran bahwa pengelolaan buku perlu dilakukan demi kepentingan umum. Di sini
mereka menekankan pentingnya adminitrasi dan organisasi perpustakaan. Mereka
menyatakan bahwa perpustakaan memiliki cirri khusus dengan mengumpulkan,
mengatur, dan mempromosikan penggunaan buku; juga diperlukan metode khusus
untuk melaksanakan tugas tersebut. Jasa bagi pemakai merupakan motivasi utama
serta tujuan primer perpustakaan. Juga mereka menekankan perlunya menyatu dalam
sebuah himpunan.
Pada tahun ini, juga terbit majalah American
Library Journal dengan “managing editornya” Melvill Dewey, pencipta Dewey
Decimal Classification (DDC). Menurut anggaran dasar ALA, maka ALA bertujuan
mempromosikan atau memajukan jasa perpustakaan dan kepustakawanan. Dalam bahasa
inggris dikatakan ”to promote the library service and librarianship”. Untuk
melaksanakan tujuan tersebut maka organisasi ALA terdiri atas :
1. lima devisi
jenis perpustakaan ; American Association Of School Librarians, American
Association Of State Libraries, Association Of College And Research Libraries,
Association Of Hospital And Institution Libraries, Dan Public Library
Association
2. sembilan
devisi jenis aktivitas, yaitu Adult Service Devision, American Library Trustee
Association, Children’s Services Decision, Reference Services Devision,
Resources And Technical Services Devision, Young Adult Services Devision, Dan
Information Science And Automation Devision
3. lima puluh
cabang negara bagian, regional, dan teritorial. Istilah yang digunakan adalah
chapters mencakup semua Negara bagian, teritori seperti Guam dan Virgin Islands
4. dua belas
organisasi yang berafiliasi dengan ALA, seperti American Associations Of Law
Libraries, American Society For Information Science, American Merchant Marine
Library Association, American Theological Library Association, Association Of
American Library Schools, Association Of Research Libraries Canadian Library
Association, Library Society Of Puerto Rico, Medical Library Association, Dan
Catholic Library Association.
Kegiatan ALA dilakukan oleh staf perpustakaan di bawah
pengawasan direktur eksekutif. Direktur eksekutif melakukan kerjasama yang
tidak terbatas pada dunia ALA tetapi juga dengan bidang lain berkaitan seperti American
Book Publishers Council dan National Education Association. Semua
aktivitas ALA diarahkan untuk mencapai objeknya yakni peningkatan jasa perpustakaan
dan kepustakawanan. Semua kebijakan, program, dan kegiatan dilaksanakan dengan
tujuan melayani kepentingan umum. Di samping kegiatan umum, ALA pun
menyelenggarakan berbagai kegiatan untuk anggotanya. ALA menerbitkan majalah
sebagai wahana komunikasi antara sesama anggota serta media untuk menyampaikan
pendapat anggota; menerbitkan standar kesejahteraan anggota, jasa perpustakaan,
pendidikan pustakawan, serta usaha meningkatkan status pustakawan dalam
masyarakat; dan mendorong penerbit swasta menerbitkan majalah profesional
kepustakawanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar