koordinasi yang efektif dari kaki-kaki
seringkali lebih produktif dibanding kumpulan bintang pada sebuah klub raksasa
sepakbola. Memang tak dapat dipungkiri, bahwa kualitas individu juga sangat
mempengaruhi hasil suatu output. Namun juga tak dapat diremehkan, bahwa seorang
bintang sangat identik dengan egoisme pribadi, terkadang membuat dia merasa
sebagai point of view dari semua mata penonton di stadion, ego itu yang
membuatnya berusaha mempertontonkan kemampuan tariannya sendirian dan melupakan
kerjasama tim.
Koordinasi adalah kunci dari semua pemecahan masalah, jika kita tak mampu berpikir sendirian, maka bukalah otak kita untuk menerima ide dan saran dari rekan kerja. Koordinasi adalah sesuatu yang sangat sederhana, cukup dengan meluangkan 1 menit berkirim sms, atau beberapa detik mengingatkan informasi, atau membuang sedikit pulsa dengan cara menelepon, akan menghindarkan dari sebuah kerugian yang besar. Koordinasi yang baik akan merubah modal atau SDM yang rendah nilainya, menjadi sebuah hasil produksi yang berkualitas tinggi.
Pernahkan anda merasa kesal karena pekerjaan tim yang harusnya bisa segera diselesaikan tiba-tiba jadi terhambat gara-gara ada satu orang yang “hilang” tanpa alasan dan saat muncul, dia hanya tersenyum kecil tanpa nada penyesalan, lalu berkata “kan minggu kemarin gw udah bilang ada acara keluarga” sambil berharap orang lain memahami urusannya.
Atau kita menemukan klien yang marah-marah karena deadline yang dijanjikan gagal terpenuhi, karena ada bagian kecil proyek yang lupa dikerjakan oleh salah satu tim kita, dan merusak kredibilitas semuanya.
Atau pada rolling shift kerja, ternyata pada jam pergantian waktu, si karyawan dan si pengganti justru tidak ada dikantor, karena yang satu pulang ontime dan berharap si pengganti datang ontime juga, sedangkan si pengganti yang terlambat berpikir bahwa karyawan shift awal akan menunggu dirinya sebelum pulang.
Dalam sebuah tim kerja, kehilangan 1 orang bisa jadi bukan masalah besar, asalkan diberitahukan sebelumnya, sehingga dicari orang lain yang bisa menggantikan.
Pun, sebuah bagian proyek yang sederhana, bisa jadi akan mudah dirangkap tugaskan pada kawan se tim, asal diinformasikan sebelumnya, sehingga si kawan tidak terburu-buru dalam mem back up nya.
Demikian juga dalam pertukaran shift, 30 menit adalah bukanlah waktu yang lama untuk menunggu, asal yang datang terlambat, menelepon keterlambatannya.
Kekacauan diatas seringkali terjadi, dan penyebabnya sangat sederhana yaitu “mis-koordinasi”. Yang satu mengharap orang lain memahami dirinya, sehingga dia merasa tidak perlu meng“informasi”kan, dan yang lain berpikir, mana mungkin saya tahu tanpa diberitahu sebelumnya.
Yap, koordinasi adalah hal kecil yang berdampak besar.
Berharap orang lain sudah paham tentang tugas nya, sehingga dirinya lalai untuk mengingatkan kembali, adalah hal yang paling sering terjadi.
Beberapa hari lalu ada satu contoh kecil bagaimana sebuah miskoordinasi merusak kualitas produk. Di sebuah stasiun televisi, suatu tayangan program berita yang sudah berjalan bertahun-tahun tanpa masalah, tiba-tiba muncul dengan gambar presenter yang siluet, alias tanpa cahaya, lalu sang presenter pun terbata-bata membaca naskah berita seolah masih jetleg.. Bagaimana itu bisa terjadi? Apakah karena ada kru baru sehingga tidak tahu job desk nya? Atau karena ada kesalahan teknis sehingga lighting terlambat menyala? Atau presenternya masih baru sehingga grogi?
Usut punya usut, ternyata hal diatas bukanlah penyebabnya. Semua kru yang saat itu bertugas adalah profesional yang menguasai job nya dengan baik. Tak ada kerusakan teknis yang terjadi, dan tak ada human error. Penyebabnya adalah hal yang sangat-sangat sepele; produser lupa mengingatkan program director tentang program yang akan tayang, PD pun lupa mencek ulang rundown sehingga salah perintah pada kru studio, lalu presenter yang sudah standby tidak mendapat informasi jam tayang program tersebut.
Saling berharap rekan kerjanya sudah tahu semua informasi, sehingga lupa untuk cek n ricek, dan cenderung malas bertanya, menjadikan koordinasi berantakan. Ya, kekacauan itu disebabkan masalah koordinasi yang tidak berjalan efektif.
Kalau sang produser sebelum siaran menginformasikan dan mengingatkan kembali pada PD bahwa jadwal siaran adalah program A dan jam tayang adalah waktu B, terus PD melanjutkan informasi tersebut ke presenter, cameraman, dan lightingman, maka kekacauan itu tidak akan pernah terjadi.
Tapi yang terjadi adalah produser lupa menginformasikan ke PD, karena mengangap PD sudah memahami rundown, yang ternyata salah dipahaminya.
Lalu PD memperkirakan bahwa programnya adalah A dan ternyata program B, sehingga salah memberi perintah pada tim nya.
Inti permasalahan adalah “kemalasan” untuk memberi informasi secara detil dan berulang-ulang, dan “kemalasan” untuk bertanya informasi yang benar, sehingga lebih suka memperkirakan saja. Tidak ada cek n ricek.
Ciri-ciri masyarakat Indonesia yang memiliki budaya komunikasi konteks tinggi (high context culture) adalah menyepelekan cek n ricek, malas berkomunikasi yang langsung pada inti masalah (to the point), lebih suka menyindir dengan bahasa halus dari pada menegur secara langsung, dan lebih suka memperkirakan daripada bertanya karena takut dianggap bodoh.
Dan hal-hal diatas adalah alasan mengapa “koordinasi” menjadi hal yang sangat susah dilakukan oleh masyarakat kita.
Koordinasi adalah kunci dari semua pemecahan masalah, jika kita tak mampu berpikir sendirian, maka bukalah otak kita untuk menerima ide dan saran dari rekan kerja. Koordinasi adalah sesuatu yang sangat sederhana, cukup dengan meluangkan 1 menit berkirim sms, atau beberapa detik mengingatkan informasi, atau membuang sedikit pulsa dengan cara menelepon, akan menghindarkan dari sebuah kerugian yang besar. Koordinasi yang baik akan merubah modal atau SDM yang rendah nilainya, menjadi sebuah hasil produksi yang berkualitas tinggi.
Pernahkan anda merasa kesal karena pekerjaan tim yang harusnya bisa segera diselesaikan tiba-tiba jadi terhambat gara-gara ada satu orang yang “hilang” tanpa alasan dan saat muncul, dia hanya tersenyum kecil tanpa nada penyesalan, lalu berkata “kan minggu kemarin gw udah bilang ada acara keluarga” sambil berharap orang lain memahami urusannya.
Atau kita menemukan klien yang marah-marah karena deadline yang dijanjikan gagal terpenuhi, karena ada bagian kecil proyek yang lupa dikerjakan oleh salah satu tim kita, dan merusak kredibilitas semuanya.
Atau pada rolling shift kerja, ternyata pada jam pergantian waktu, si karyawan dan si pengganti justru tidak ada dikantor, karena yang satu pulang ontime dan berharap si pengganti datang ontime juga, sedangkan si pengganti yang terlambat berpikir bahwa karyawan shift awal akan menunggu dirinya sebelum pulang.
Dalam sebuah tim kerja, kehilangan 1 orang bisa jadi bukan masalah besar, asalkan diberitahukan sebelumnya, sehingga dicari orang lain yang bisa menggantikan.
Pun, sebuah bagian proyek yang sederhana, bisa jadi akan mudah dirangkap tugaskan pada kawan se tim, asal diinformasikan sebelumnya, sehingga si kawan tidak terburu-buru dalam mem back up nya.
Demikian juga dalam pertukaran shift, 30 menit adalah bukanlah waktu yang lama untuk menunggu, asal yang datang terlambat, menelepon keterlambatannya.
Kekacauan diatas seringkali terjadi, dan penyebabnya sangat sederhana yaitu “mis-koordinasi”. Yang satu mengharap orang lain memahami dirinya, sehingga dia merasa tidak perlu meng“informasi”kan, dan yang lain berpikir, mana mungkin saya tahu tanpa diberitahu sebelumnya.
Yap, koordinasi adalah hal kecil yang berdampak besar.
Berharap orang lain sudah paham tentang tugas nya, sehingga dirinya lalai untuk mengingatkan kembali, adalah hal yang paling sering terjadi.
Beberapa hari lalu ada satu contoh kecil bagaimana sebuah miskoordinasi merusak kualitas produk. Di sebuah stasiun televisi, suatu tayangan program berita yang sudah berjalan bertahun-tahun tanpa masalah, tiba-tiba muncul dengan gambar presenter yang siluet, alias tanpa cahaya, lalu sang presenter pun terbata-bata membaca naskah berita seolah masih jetleg.. Bagaimana itu bisa terjadi? Apakah karena ada kru baru sehingga tidak tahu job desk nya? Atau karena ada kesalahan teknis sehingga lighting terlambat menyala? Atau presenternya masih baru sehingga grogi?
Usut punya usut, ternyata hal diatas bukanlah penyebabnya. Semua kru yang saat itu bertugas adalah profesional yang menguasai job nya dengan baik. Tak ada kerusakan teknis yang terjadi, dan tak ada human error. Penyebabnya adalah hal yang sangat-sangat sepele; produser lupa mengingatkan program director tentang program yang akan tayang, PD pun lupa mencek ulang rundown sehingga salah perintah pada kru studio, lalu presenter yang sudah standby tidak mendapat informasi jam tayang program tersebut.
Saling berharap rekan kerjanya sudah tahu semua informasi, sehingga lupa untuk cek n ricek, dan cenderung malas bertanya, menjadikan koordinasi berantakan. Ya, kekacauan itu disebabkan masalah koordinasi yang tidak berjalan efektif.
Kalau sang produser sebelum siaran menginformasikan dan mengingatkan kembali pada PD bahwa jadwal siaran adalah program A dan jam tayang adalah waktu B, terus PD melanjutkan informasi tersebut ke presenter, cameraman, dan lightingman, maka kekacauan itu tidak akan pernah terjadi.
Tapi yang terjadi adalah produser lupa menginformasikan ke PD, karena mengangap PD sudah memahami rundown, yang ternyata salah dipahaminya.
Lalu PD memperkirakan bahwa programnya adalah A dan ternyata program B, sehingga salah memberi perintah pada tim nya.
Inti permasalahan adalah “kemalasan” untuk memberi informasi secara detil dan berulang-ulang, dan “kemalasan” untuk bertanya informasi yang benar, sehingga lebih suka memperkirakan saja. Tidak ada cek n ricek.
Ciri-ciri masyarakat Indonesia yang memiliki budaya komunikasi konteks tinggi (high context culture) adalah menyepelekan cek n ricek, malas berkomunikasi yang langsung pada inti masalah (to the point), lebih suka menyindir dengan bahasa halus dari pada menegur secara langsung, dan lebih suka memperkirakan daripada bertanya karena takut dianggap bodoh.
Dan hal-hal diatas adalah alasan mengapa “koordinasi” menjadi hal yang sangat susah dilakukan oleh masyarakat kita.
11. Birokrasi adalah mesin dan system pemerintahan yang penting dalam
mengatur penyelenggaraan urusan pemerintahan domestik dan internasional. Oleh
karena itu, birokrasi sering mendapat tuntutan dari masyarakat untuk
menyelenggarakan pelayanan secara efektif dan efisien (berkualitas dengan harga
ekonomis). Hal ini muncul karena banyak yang berpandangan bahwa birokrasi
adalah institusi yang kaku, lambat, patologis, disfungsi, menghambat, dan hanya
menjadikan manusia sebagai objek. Persepsi tersebut muncul didasarkan atas
pelayanan birokrasi dirasakan masyarakat kurang memuaskan bahkan mengecewakan.
Badan Perencanaan Nasional (Bapenas) dalam laporannya tahun 2007 menyebutkan
bahwa kinerja birokrasi masih belum optimal. Indikator yang menunjukan hal
tersebut antara lain dicerminkan dengan masih banyaknya keluhan masyarakat,
baik menyangkut prosedur, kepastian, tanggung jawab, moral petugas, serta masih
terjadinya praktek pungli yang memperbesar biaya pelayanan, dan masih kurang
profesionalismenya aparatur pemerintah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya,
sehingga seringkali birokrasi masih dianggap sebagai penghambat pelaksanaan
tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan[2].
Ketidakjelasan prosedur pelayanan
birokrasi minimal dipengaruhi tiga faktor yakni pembagian tugas, koordinasi
dan Standar Operating Prosedure (SOP). Pertama pembagian tugas
dan fungsi institusi yang tidak jelas. Faktor tersebut menyebabkan terjadinya
tumpang tindih tugas dan fungsi antar institusi birokrasi atau sebaliknya,
tidak ada institusi yang menyelenggarakan tugas dan fungsi tersebut. Kedua
fungsi koordinasi antar intitusi yang tidak berjalan dengan baik atau bahkan
terhenti. Faktor ini sering disebabkan antara lain oleh besarnya ego sektoral,
ego wilayah serta “gengsi jabatan”. Ego sektoral ditunjukan saat
membentuk institusi yang bersifat terpadu seperti BadanPelayanan Terpadu
(umumnya dalam bidang perizinan). Ego Wilayah dapat terlihat pada beberapa
kasus hubungan pemerintah propinsi dengan pemerintah kabupaten/kota. Sedangkan
dalam “Gengsi Jabatan”, institusi yang lebih jabatan struktural lebih rendah
sulit mengkoordinir jabatan struktural yang lebih tinggi, sebagai contoh UPT
Departemen di daerah yang memiliki jabatan eselon IIIa mengkoordinir
Dinas-Dinas yang memiliki jabatan eselon IIa. Ketiga Standar
Operating Prosedure (SOP) lintas institusi belum ada.
Ketiga faktor tersebut diatas
dipandang sebagai permasalahan mendasar dalam kinerja birokrasi yang belum
optimal. Hasil pengamatan dan pembahasan dalam penataan organisasi dan tata
kerja institusi birokrasi di pusat maupun daerah, hal tersebut disebabkan
antara lain pembentukan penataan kelembagaan birokrasi yang dilakukan secara
parsial. Selain itu, pembentukan dan penataan kelembagaan birokrasi tidak
sepenuhnya menggunakan prinsip-prinsip pengorganisasian antara lain kejelasan
tugas dan pengaturan hubungan kewenangan antara institusi birokrasi. Akibat
yang ditimbulkan hal tersebut yakni munculnya tumpang tindih dalam pelaksanaan
tugas dan fungsi antar institusi birokrasi. Hal yang sering digunakan sebagai
pertimbangan dalam pembentukan dan penataan institusi birokrasi adalah
peraturan perundangan-undangan.
Robbins (1995) menyatakan bahwa
dalam penataan struktur organisasi terdapat 3 dimensi yang perlu diperhatikan,
yaitu : kompleksitas, formalitas dan sentralisasi. Kompleksitas merujuk pada
tingkat diferensiasi (pemisahan tugas-tugas) yang ada pada suatu organisasi.
Semakin kompleks organisasi, semakin dibutuhkan koordinasi, kontrol dan
komunikasi yang efektif bagi unit-unit yang ada sehingga para pimpinan bisa
memastikan bahwa setiap unit bekerja dengan baik. Formalisasi
menurut Pugh et al dalam Mintzberg (1985) merupakan suatu kondisi di mana
aturan-aturan, prosedur, instruksi dan komunikasi dibakukan, atau dengan kata
lain sampai sejauh mana pekerjaan dalam organisasi itu distandardisasikan.
Formalisasi penting karena dengan standardisasi akan dicapai produk yang
konsisten dan seragam serta mengurangi kesalahan-kesalahan yang tidak perlu
terjadi. Selain itu formalisasi akan mempermudah koordinasi antar bagian / unit
organisasi dalam menghasilkan suatu produk atau jasa. Sentralisasi
didefinisikan sebagai jenjang kepada siapa kewenangan formal untuk membuat
keputusan secara leluasa dikonsentrasikan pada seorang individu, unit, atau
tingkatan, yang dengan demikian mengijinkan pada para pegawai memberikan
masukan yang minimal ke dalam pekerjaan mereka.
Indonesia belum memiliki grand
desaind kelembagaan birokrasi ideal untuk menciptakan kinerja birokrasi yang
optinal. Mestipun saat ini sebagian kecil telah dilakukan pengaturan mengenai
jumlah kementerian dan struktur organisasinya. Tetapi masih banyak pekerjaan
rumah yang harus dikerjakan dalam kelembagaan birokrasi seperti jumlah ideal
lembaga pemerintah non kementerian (LPNK), jumlah propinsi dan jumlah
kabupaten/kota serta lembaga-lembaga non struktural.
Dalam menciptakan birokrasi yang
ideal dihadapkan pada banyak hambatan intern dan ekstern. Faktor intern
antara lain pembentukan institusi dengan menggunakan struktul pola maksimal,
pembagian tugas yang tidak merata dan masih terdapat potensi tumpang tindih
antar institusi, belum jelasnya pola karir pegawai, paradigma jabatan
struktural sebagai gengsi, tidak mempertimbangkan bebab kerja, kurang
mempertimbangkan kemampuang sumber daya manusia, kurang mempertimbangkan
kemampuan anggaran dan lain sebagainya. Sedangkan faktor ekstern meliputi
politik, ekonomi, social budaya dan lain sebagainya.
Kelembagaan Birokrasi
Birokrasi ideal menurut Max Weber
memiliki karakteristik pembagian kerja, hierarki yang didefinisikan
dengan jelas, peraturan dan ketetapan yang rinci, dan sejumlah hubungan yang
impersonal. Pembagian kerja secara jelas tertuang dalam rincian tugas yang
diwadahi dalam suatu jabatan. Hierarki yang menggambarkan struktur organisasi
secara tegas sebagai garis kontrol dalam organiasi. Pengaturan tentang
pembagian kerja dan struktur organisasi diatur dan ditetapkan secara formal
dituangkan ke dalam perataturan. Selain itu diperlukan pegaturan-pengaturan
formal yang bersifat impersonal dalam organisasi.
Selanjuntya, apabila birokrasi
dianalogikan sebagai organisme., maka birokrasi memiliki organ dan system
organ. Organ Birokrasi antara lain kementerian, LPNK dan lain sebagainya.
Selanjuntya, Organ yang terkumpul akan menjadi system organ seperti Sistem
Ekonomi, system hukum dan lain sebagainya. Dalam satu system dapat melibatkan
banyak organ untuk mengoperasionalkan system tersebut. Oleh karena itu,
system organ harus memiliki koordinasi yang baik sebagai ikatan dalam
menjalankan tugasnya. Koordinasi dapat berjalan dengan baik jika memiliki
Standar Oprasional Prosedur (SOP). SOP akan memberikan kejelasan dan
konsitensi dalam pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing organ. Sehingga SOP
juga dapat berfungsi sebagai control dan pengendalian dalam pelaksanaan tugas
dan fungsinya sehinggga akan tercapai hasil sesuai yang diharapkan.
Dalam sebuah sistem
pencernaan manusia terdapat organ meliputi organ kelenjar liur, kerongkongan,
perut, hati, kandung empedu, pankreas, usus, rektum, dan anus. Bila salah satu
organ tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya maka akan menjadi gangguan ke
seluruh system organ dan bahkan melumpuhkan seluruh organisme. Hal tersebut
juga berlaku dalam birokrasi bila salah satu departemen atau lembaga pemerintah
lainnya tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya akan akan menggangu system
atau bahkan birokrasi. Sebagai contoh jika departemen keuangan tidak dapat
menjalankan tugas dan fungsinya maka akan mengganggu system keuangan bahkan
jalannya pemerintahan.
Kelembagaan Birokrasi secara makro
meliputi pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kelembagaan pemerintah pusat
antara lain Kementerian, Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) dan
Lembaga Non Struktural (LNS). Kementerian dalam Kabinet Indonesia Bersatu
jilid dua (periode 2009-2014) sebanyak 34 kementerian[3],
LPNK sebanyak 26 LPNK[4]
dan, LNS hasil indentifikasi LAN pada pertengahan tahun 2009
telah mencapai 92 LNS. Sedangkan, Pemerintah daerah meliputi propinsi dan
kabupaten kota. Pemerintah Propinsi saat ini telah menjadi 33 propinsi. Dan,
pemerintah kabupaten kota saat ini telah lebih dari 450 kabupaten/kota.
Secara mikro, Struktur Organisasi
pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga mengalami pengembangan.
Kementerian, LPNK dan LNS cenderung selalu meningkatkan dan menambah struktur
organisasinya seperti menambah tingkat eselon I dan membentuk Unit Pelaksana
Teknis. Dimana, pengaturan tentang jumlah maksimal untuk eselon I dan UPT untuk
setiap instansi tersebut sampai saat ini belum diatur. Sedangkan, pemerintah
daerah dalam membentuk Satuan Kerja Perangkat Derah (SKPD) propinsi dan
kabupaten/kota juga cenderung menggunakan pola maksimal yang
diperbolehkan peraturan yang berlaku.
Kelembagaan birokrasi tersebut
diatas masih memiliki kemungkinan berkembang lagi. Pada kelembagaan tingkat
pusat ditunjukan oleh Pemerintah dengan pendekatan membangun kelembagaan baru
untuk menyelesaian masalah. Sebagai contoh kelemahan dalam koordinasi
diselesaikan dengan membentuk badan-badan koordinasi, kelemahan system
diselesaikan dengan membentuk satgas atau unit kerja dan lain sebagainya.
Sedangkan untuk tingkat pemerintah daerah yakni masih adanya beberapa rancangan
undang-undang tentang pemekaran wilayah yang menunggu disahkan Dewan Perwakilan
Daerah dan Presiden.
Lemahnya Koordinasi antar
instansi
Kelembagaan Birokrasi yang besar
dan manajemen internal yang lemah menyebabkan kurang optimalnya kinerja
birokrasi. Lemahnya manajemen internal salahsatunya ditunjukan dengan
lembahnya koordinasi. Hasil evaluasi Kementerian Perencanaan Nasional menunjukan
bahwa sistem koordinasi pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kinerja kebijakan
dan program pembangunan masih lembah[5].
Pendapat senada juga diungkapkan Hikmahanto Juwana Guru Besar Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyebutkan bahwa [6]
: “Salah satu hambatan untuk menjalankan program-program pemerintah dewasa
ini adalah kurangnya koordinasi antar instansi. Koordinasi lemah dalam tataran
horizontal antardepartemen maupun dalam tataran vertikal antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah serta pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota”.
Beberapa contoh dari kelembahan
koordinasi instansi pemerintah dalam menjalankan program kerjanya sebagai
berikut :
- Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang melibatkan sebanyak 76 kementerian dan lembaga Negara, namun hanya setengahnya yang telah terintegrasi dalam pemberantasan kemiskinannya. Sehingga Hasil yang dicapai dalam PNPM Mandiri hanya menjangkau 32.669 desa dari 70.000 desa.
- Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta menilai pemerintah perlu memingkatkan koodinasi antar institusi untuk menangkal masuknya limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3). Banyaknya limbah luar negeri masuk Indonesia merupakan bukti lemahnya kordinasi antar institusi,'[7].
- Kasus sampah di Banjirkanal Timur Kota Semarang yang tidak pernah selesai merupakan bukti lemahnya koordinasi antara Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah.
Koordinasi merupakan kata yang
mudah untuk diucapkan tetapi tidak mudah diaplikasikan. Lemahnya koordinasi
dalam birokasi disebabkan antara lain kurang harmonisasinya peraturan
perundangan, adanya ego sektoral dari masing-masing unit kerja, lembaga
maupun departemen[8].
Ketidakharmonisan peraturan perundangan disebabkan kurang koordinasi antar
dalam pembentukan peraturan yang di usulkan instansi sektornya dan instansi
lainnya yang berkaitan. Pada tingkatan pemerintah daerah lemahnya koordinasi
secara vertical dan horizontal. Koordinasi vertical yakni antara gubernur,
bupati, dan walikota yang “terlihat tidak memiliki khirarki yang jelas”. Dimaka
mereka dipilih secara langsung oleh masyarakatnya. Kondisi tersebut diperparah
dengan kurangnya kewenangan dan peran gubernur terhadap kabupaten/kota.
Sehingga terjadi beberapa kasus bupati / walikota lebih “mengukuti perintah
partai” dibandingkan dengan gubernur. Sedangkan koordinasi horizontal terlihat
dari lemahnya koordinasi antar satuan kerja perangkat daerah sebagai contoh
dalam penyusunan atau penataan struktur organisasi perangkat daerah yang
masing-masing satuan kerja perlu berdiri sendiri dan merasa paling penting.
Besarnya ego sektoran setiap satuan
kerja dan pejabat birokrasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Kesadaran
ego sektoran, sesungguhnya telah disadari oleh setiap satuan kerja dan pejabat.
Hal tersebut terungkap beberapa kali dalam wawancara dan diskusi penataan
organisasi pemerintah pusat dan daerah. Namun demikian, kesadaran kendala ego
sektoral tidak diikuti untuk melepaskan ego sektoral tersebut. Sebagai
contoh yang terjadi dalam beberapa kasus pembentukan Badan Perijinan Terpadu
(BPT) atau one stop service, kecenderungan institusi yang terkait
dengan hal tesebut cenderung tidak mengijinkan sebagaian kewenangannya
dialihkan ke BPT. Oleh karena itu, syarat utama efektifitas koordinasi yakni
melepaskan ego sektoral atau institusi dengan mengutamakan kepentingan
organisasi yang lebih besar.
Lembaga Baru Bukan Solusi
Kelemahan koordinasi sering
diselesaikan dengan pembentukan lembaga baru. Namun demikian, Hal inilah
yang terlihat pada kelahiran lembaga koordinasi atau lainnya dalam kelembagaan
pemerintahan merupakan bukti lemahnya koordinasi antara institusi birokrasi.
Lembaga tersebut antara lain Badan Koordinasi Keamanan Laut (BAKORKAMLA),
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP),
dan lain sebagainya. Bakorkamla dilahirkan karena salah satu alasanya adalah
kurang efektifnya dalam penanggan keamanan laut yang melibatkan intitusi antara
lain Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Bea Cukai (Departemen
Keuangan), Polisi Laut, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, dan lain
sebagainya. KPK dilahirkan salah satunya disebabkan kurang optimalnya penegakan
hukum pelaku korupsi. Sedangkan, BNPP dilahirkan karena banyaknya permasalahan
di perbatasan serta lambatnya pembangunan daerah perbatasan.
Salah satu kunci utama pencapaian
kinerja organisasi secara efektif dan efisien adalah koordinasi yang efektif.
Tiga syarat minimal koordinasi efektif yakni Pembagian tugas secara jelas dan
tegas, manajemen internal dan Komitmen pimpinan. Pembagian tugas institusi
secara jelas dan tegas harus dilakukan untuk menghindarkan dari tumpang tindih
tugas dan fungsi institusi. Manajemen internal antara lain meliputi
perencanaan, pelaksanaan, koordinasi dan evaluasi penyelenggaraan tugas dan
fungsi. Menajemen internal yang dimaksud adalah internal secara sempit dan
secara luas. Internal secara sempit adalah intitusi-intitusi seperti
Kementerian, LPNK, Dinas, Lembaga Tehnis Daerah (LTD), LNS dan lain sebagainya.
Sedangkan secara luas Manajemen Internal meliputi Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah. Syarat penting ketiga adalah komitmen pimpinan dalam
melaksanakan kedua syarat sebelumnya.
Mekanisme Koordinasi
Koordinasi dapat di bedakan menjadi
dua yakni koordinasi intern dan kooordinasi ekstern. Koordinasi Intern
merupakan koordinasi yang dilakukan langsung atasan kepada bawahannya dalam
suatu organisasi yang sama. Sedangkan, koordinasi ekstern yaitu koordinasi yang
dilakukan oleh suatu organisasi dengan organisasi lainnya.
Koordinasi tersebut dapat dapat
dilaksanakan bila terdapat kesadaran saling ketergantungan dari yang terkait.
Selain itu, koordinasi yang efektif ditentukan oleh pola komunikasi yang
digunakannya. Hal ini dibutuhkan untuk mengurangi timbul kesalahpahaman
diantara pelaku-pelaku koordinasi. Pakar Orgnaisasi Mintzberg (Mintzerg, 1979)
membagi pola hubungan menjadi tiga sebagai berikut :
- Mutual Adjusment merupakan suatu hubungan antara dua pihak atau lebih untuk saling memahami dan saling menyesuaikan (hubungan ini sangat bersifat sederhana dan tidak terlalu kaku/formal).
- Direct Supervision yang merupakan salah satu bentuk pengawasan langsung oleh seorang atasan kepada dua atau lebih bawahan untuk menciptakan keserasian hubungan antar bawahannya dan antara atasan dan bawahan (atasan dapat memberikan arahan/pedoman apa, kapan, bagaimana dan dengan siapa sesuatu dilakukan dan bawahan untuk menterjemahkannya menjadi suatu tindakan-tindakan).
- Standardization yang meliputi standarisasi proses/prosedur/tata kerja, standarisasi skill, dan standarisasi output, dan pekerjaan skill. Dengan standarisasi ini hubungan yang terjadi bukan lagi antar personal langsung tetapi melalui norma-norma dan sebagainya, karena standarisasi dalam hal ini dapat diartikan sebagai proses atau bentuk hubungan antara dua orang/bagian atau lebih yang mendasarkan diri pada proses/prosedur kerja yang sudah disepakati bersama. Kesepahaman akan prosedur kerja yang digunakan membuat pekerjaan yang sama dan atau berbeda bisa saling terkait dengan harmonis, karena setiap orang tahu dengan pasti hal-hal yang harus ia lakukan dan atau bagian mana (dari suatu keseluruhan pekerjaan) yang menjadi tugas untuk dikerjakannya.
Standard Operating
Prosedure
SOP sebagai alat mencapai
efektifitas koordinasi dalam manajemen internal. SOP merupakan serangkaian
panduan teknis yang berisi aliran dan proses kerja dari suatu organisasi.
SOP merupakan panduan teknis yang berisi serangkaian instruksi yang
menggambarkan aktivitas dan proses kegiatan atau penyelenggaraan tugas dan
fungsi dalam organisasi. SOP berfungsi memberikan kejelasan dalam siapa dan apa
yang harus dilakukan serta persyaratan apa yang harus dipernuhi dalam proses
kegiatan tersebut. Penyusunan SOP dengan baik tentunya akan mengurangi tumpang
tindih atau saling lempar tanggung jawab dalam pelaksanaan tugas. Selain itu,
SOP tersebut dapat menjadi tolak ukur dalam proses evaluasi atas pelaksanaan
pekerjaan.
12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar